Senin, 14 Maret 2016

Jokowi Menggugat Nasionalisme Media Televisi

Giorgio Babo Moggi

Sebuah pemandangan menarik saat menonton siaran langsung final sepak bola Piala Gubernur Kaltim (13/3/15). Pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, tidak semua pemain Indonesia menyanyikan Indonesia Raya. Dua kemungkinan saja. Mereka dengan sengaja tidak mau menyanyikannya dengan berbagai alasan atau pemain yang bersangkutan tidak tahu syair apalagi menyanyikannya?

Kemungkinan yang kedua, mengingatkan saya dengan kritikan Jokowi kepada media televisi yang memutarkan lagu kebangsaan di tengah malam. Dengan gaya Jokowi yang dingin, sebenarnya, kritikannya tajam dan menggugah kesadaran kita semua; media televisi, lembaga pendidikan, orang tua, dan pemerintah.

Lagu-lagu kebangsaan hanya menjadi pengiring tidur. Menutup rangkaian acara televisi dalam sehari. Pertanyaanya, siapakah yang mendengar? Orang mungkin menonton bahkan hanya menjadi 'soundtrack' aktivitas tengah malam. Anak-anak dan remaja pun sudah lelap dalam tidurnya.

Jokowi sadar, media televisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak-anak masa kini. Memperkuat pendapat Jokowi kita dapat menengok di lingkungan terdekat kita. Anak-anak berusia 5 tahun dapat melantunkan lagu-lagu cinta dengan sempurna. Atau, bagaimana mungkin seorang remaja kampung dapat bicara dengan dialek Jakarta karena mereka sering menonton sinetron? Dua contoh yang nyata. Fakta bahwa media televisi memiliki pengaruh yang luas.

Mengapa anak-anak dan remaja mudah menyerap pengaruh media televisi?

ANAK-ANAK DAN REMAJA SEPERTI SEBUAH GELAS KOSONG. BELUM TERISI AIR. KALAUPUN TERISI, SETENGAH GELAS PUN BELUM SAMPAI. SEHINGGA APAPUN YANG MASUK KEDALAM OTAKNYA DENGAN MUDAH TERTAMPUNG. DIDUKUNG PULA DENGAN DAYA INGAT YANG KUAT. LAIN HAL ORANG DEWASA - MEMORINYA SEMAKIN JENUH KARENA USIA.

Himbauan Jokowi kepada pemilik media TV memutarkan waktu lagu-lagu kebangsaan pada segmen prime time adalah langkah yang paling bijak. PERTAMA, media televisi memiliki tanggung jawab untuk menggelorakan nasionalisme.

KEDUA, Jokowi sangat paham, media TV memiliki jangkauan dan pengaruh yang luas. Maka media TV dapat menjadi sarana membangun nasionalisme. Anak-anak dan remaja begitu gampang meniru tayangan-tayangan murahan TV, bagaimana mungkin mereka tidak bisa meniru lagu-lagu kebangsaan jika lagu-lagu dibuka disiarkan di TV?

TERAKHIR, media sangat berperan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Media (radio) misalnya membakar semangat nasionalisme ke seluruh pelosok tanah air. Kita ingat peristiwa Sepuluh November di Surabaya, bagaimana Bung Tomo mengelorakan perlawanan kepada Belanda. Nah, sekarang kita hidupkan lagi peran media itu.

Himbauan Jokowi harus di-follow up media. Soal nasionalisme tidak bisa ditawar. Kemerdekaan sudah diraih. Tugas kita melestarikan karya para pahlawan yang diperoleh melalui cucuran keringat dan darah tersebut. Lantas, menyanyi lagu kebangsaan saja kita tidak bisa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar