Senin, 07 November 2016

Gara-gara kasusnya Ahok

Oleh Muksin Kota Al Florezy

Gara-gara kasusnya Ahok, saya jadi gatal ingin utak-atik lagi otak yang sebelum-sebelumnya pernah disusupi materi kuliah seputar linguistik. Menarik memang untuk menelisik "sesuatu" yang tersembunyi dibalik pernyataan Ahok itu.

Sepertinya, pada tataran sintaksis (ilmu tata kalimat) dan semantik (ilmu tentang makna) tidak ada persoalan serius. Sebab, sejauh yang saya ketahui, sumber perkara yang kemudian bermuara pada kasus penistaan agama lebih terfokus pada pengaitan kalimat yang diucapkan Ahok dengan konteks; dalam hal ini pragmatik menjadi ilmu bahasa yang bertanggung jawab mengurusnya.

Ditengarai, ilmu bahasa inilah yang menjadi palu oleh sebagian kalangan untuk memvonis Ahok atas tuduhan penistaan agama.

Ada faktor-faktor di luar bahasa yang tidak cukup jika hanya mengandalkan pisau pragmatik. Kenapa demikian? Secara sederhana, pragmatik ini menitik-beratkan kajian terhadap hubungan kalimat dengan konteks di mana peristiwa komunikasi itu berlangsung (situasional).

Sedangkan motif-motif lain yang ikut memengaruhinya tidak bisa terwadahi. Contoh soal: "Mukamu mirip asu." Apa betul mirip? Jelas tidak mungkin. Itu hanya sebuah ekspresi dalam konteks ketika si pengujar marah atau emosi. Kenapa pengujar itu emosi?

Tentu ada faktor lain sebelumnya. Mungkin saja orang yang dimaksud si pengujar itu pernah nyolong sempaknya si pengujar, atau dulu perempuan yang ditaksir si pengujar pernah ditikung oleh orang tersebut. Jadi, pragmatik bukan pisau bedah yang pas di sini.

Nah, untuk mengakomodasi semua itu, diperlukan sebuah pisau analisis yang tepat. Di sini, analisis wacana kritis lah yang mestinya dipakai untuk menjawab semuanya itu. Apa itu analisis wacana kritis?

Gampangnya begini. Jika pragmatik konteksnya hanya sebatas situasional, maka analisis wacana kritis mencakup, mulai dari tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Beberapa unsur tersebut ikut berperan penting dalam proses lahirnya sebuah teks tulisan atau lisan yang diujarkan.

Selamanya bahasa memang tidak akan pernah netral jika sudah berbentuk lisan atau tulisan. Selalu ada motif terselubung, selalu ada kepentingan yang menguntitnya.

1 komentar:

  1. Kalau hati dan pikiran diliputi iri dan dengki, maka teori apa pun tak akan masuk akal mereka.Lihat saja sekarang, mereka itu mulai bela diri dan mengatakan tidak pada apa yang telah mereka katakan dan lakukan.Orang iri dan dengki selalu gunakan ototnya, "pokok e".

    BalasHapus