Senin, 14 Maret 2016

Freud dan Pendidikan Bahasa

Agustinus Tetiro

Freud pastilah seorang raja psikologi dalam pengertiannya yang paling dasar: ilmu jiwa. Semua psikolog dan mahasiswa psikologi ingin berbicara tentang (dan bersama) Freud. Atau, kalaupun tidak, mereka akan mencari alasan yang paling menyakinkan mengapa (menghindari dan) tidak membahas Freud.

Sigmund Freud lahir di Freiberg pada 6 Mei 1856. Pada masa kecilnya, Freud membaca dengan sangat tekun karya sastra Yunani dan kisah-kisah Bangsa Yahudi. Dikenal luas sebagai pendiri aliran psikoanalisis. Kehidupan jiwa, menurut pria Austria keturunan Yahudi ini, memiliki 3 tingkatan: sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Alam bawah sadar yang sebagian besar mengendalikan perilaku manusia adalah konsepnya yang paling terkenal. Alam bawah sadar yang diperkenalkan Freud didasari pada hasrat seksualitas (eros) manusia sejak kecil dari ibunya. Lalu, hasrat itu berkembang, terutama tersublimasi sesuai norma ayah, aturan masyarakat dan harapan warga.

Wikipedia menulis, Freud belajar hipnotis di Perancis. Namun, kemudian menggunakan asosiasi bebas dan analisis mimpi untuk membantu penderita penyakit mental. Berbasis pada konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas adalah metode yang digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang tetapi terus mendorong keluar secara tidak disadari sehingga menimbulkan permasalahan.

Sementara itu, Analisis Mimpi berasumsi bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar. Pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi lain, hingga aktivitas emosi yang sama sekali tidak disadari. Analisis Mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil diungkap, penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah.

Hal-hal ini dilakukan untuk mengembangkan sesuatu yang kini dikenal sebagai "obat dengan berbicara": unsur inti psikoanalisis. Freud terutama tertarik pada kondisi yang dulu disebut histeria dan sekarang disebut sindrom konversi.

Teori-teori Freud serta caranya mengobati pasien menimbulkan kontroversi di Wina abad kesembilan belas dan masih diperdebatkan sengit hingga sekarang. Gagasan Freud biasanya dibahas dan dianalisa sebagai karya sastra, filsafat, dan budaya umum, selain sebagai debat yang berketerusan sebagai risalah ilmiah dan kedokteran kini.

Freud merupakan tokoh menonjol terkait dengan pendapat-pendapatnya di bidang psikologi. Banyak istilah-istilahnya yang digunakan oleh umum, misalnya: id, ego, super ego, dan kompleks Oedipus. Freud meninggal di London, 23 September 1939 (usia 83 tahun).

“(Pendidikan) Bahasa Freud”

Profesor psikologi Jerome S Bruner dari Universitas Harvard yang terkenal melalui bukunya “Opinions and Personality. A Study of Thinking: Mandate from the People” menulis tentang Freud dan gambaran tentang manusia dengan penekanan pada endapan historis berdaya menyejarah pendidikan dan tradisi bahasa yang pernah dialami Freud. (Lihat, “Freud dan Gambaran tentang Manusia” dalam Benjamin Nelson (ed.), “Freud. Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20”, Surabaya: Ikon Teralitera, 2003, hlm.201-211)

Menurut Bruner, jauh dalam pengertian sebagai sebuah teori, model pemikiran Freud adalah sebuah metafora, sebuah analogi, sebuah jalan memahami manusia, sebuah drama. Tidak bermaksud menyembunyikan tradisi intelektual Freud yang lain seperti materialism, determinisme, dan fisikalisme-klasik dari abad ke-19, Freud mengalami antithesis romantisme dan saintisme abad ke-19: sesuatu yang bisa menyebabkan alienasi budaya dalam taraf dan kadar tertentu. Bukan adlam arti doctrinal, Freud selalu dipandang sebagai Yahudi dalam konsepsi tentang moralitas, ilusi, dan bakat kenabiannya, juga pemikirannya tentang erotisme dewasa. Bakat kenabiannya sangat dikenal dalam pembebasan sesorang dari ilusi dan infantilisme neurotis.

Freud, sama halnya dengan kaum Stoic, percaya pada keharusan mematuhi hukum alam. Freud menyukai drama Yunani, terutama drama tragis/tragedi, dan menggunakannya secara kreatif dan jenial dalam kerja-kerja akademiknya. Tidak bermaksud mencampuri otoritas direktif, beberapa komentator menyebut: Freud adalah ahli drama tragis yang menajdi seorang psikiater.

“Freud membuat teori dan proto-teori manusia sebagai aktor. Karekter yang ia ambil berasal dari kehidupan: id yang buta dan energik serta mencari kesenangan; superego yang angkuh dan selalu memberi hukuman; dan ego yang memperjuangkan ekadaannya dengan memisahkan energy untuk kegunaannya sendiri,” tulis Burner.

Tipe ideal manusia dalam pemikiran Freud adalah seorang dewasa yang mampu menemukan jalannya sendiri setelah bebas dari neurosisme kanak-kanak. Dewasa dalam arti memahami drama kehidupan yang ekonomis dan tegas.

Hal senada disampaikan Abram Kardiner, professor psikiatri klinis dari Universitas Columbia, yang pernah menjadi murid Freud ketika bertandang ke Wina pada 1919 dan 1925. (Lihat, “Freud: Pria yang Saya Kenal, Seorang Ilmuwan, dan Pengaruhnya”, ibid. hlm. 41-55). Menurut Kardiner, kemampuan bicara Freud sangat hebat, termasuk dalam bahasa Inggris yang sempurna. Freud seorang orator dengan kemampuan gemilang memvisualisasikan apa yang dia maksudkan.

“Semua perkataannya bisa dicetak; perkataannya sangat tajam, imajinatif, penuh dengan metafora, analogi, dan cerita—terutama cerita bangsa Yahudi—dan tidak terlalu panjang dan bertele-tele. Freud berbicara hampir seperti buku,” tulis Kardiner sebagai testimoni. Freud pernah mendapatkan Goethe Prize untuk sastra dari Negara Jerman.

Tidak ketinggalan. Kardiner memberi peringatan bahwa Freud adalah orang yang berbeda bagi setiap orang yang mengenalnya. Itu artinya, Freud bisa dipahami dari sisi dan perspektif lain juga.

Kita melompat agak jauh ke depan. Bahwa salah satu keberhasilan Freud adalah pemeriksaan diri (self-examination) dimana subjeknya adalah diri sendiri kadang-kadang dilupakan orang. Kita bisa tahu dengan demikian bahwa Freud sangat menghargai kebebasan pribadi: kebebasan yang memerdekanan dan mendewasakan manusia tanpa rasa hina setelah bebas dari sikap infantil.

“Obat dengan Berbicara”


Kita ambil salah satu kekhasan psikoanalisis Freud: “obat dengan berbicara”. Berbicara (menulis juga ‘bericara’) berarti berbahasa. Berbicara sebagai sebuah terapi pendewasaan hanya bisa dilakukan dalam sebuah kerangka pendidikan yang diatur dan dikembangkan secara baik dan bertanggung jawab. Misalnya, ketika para pendidik dan guru ingin memberikan sosialisasi dan edukasi tentang seksualitas pada anak didik, hal yang bisa dilakukan adalah berbicara tentang seksualitas. Membebaskan tema seksualitas dengan berbahasa, dan bukannya menutup-nutupi sebagai hal yang tabu. Tentu, pada tataran dan level yang sesuai untuk semua anak didik.

Membicarakan suatu hal, seperti seksualitas, dengan serius dalam rangka pendidikan itu mendewasakan. Orang-orang yang berorientasi seksual menyimpang (deviatif) seperti pemerkosa, masokis dan sadis pasti tidak selalu ingin berbicara tentang seks dan seksualitas yang sehat dan benar.

Sebuah pendidikan bahasa (dan sastra) yang baik, menurut saya, harus bisa membebaskan anak didik mengatakan apa yang dipikirkan dan diimajinasikannya secara kreatif dan transformatif. Bahasa, lebih dari alat komunikasi, adalah tempat kita belajar menjadi manusia. Dan ketika, pendidikan bahasa dinilai terbatas, maka karya-karya sastra bisa menjadi jalan keluar yang sangat kreatif untuk menjadi model pengajaran pembebasan ataupun sebuah wadah untuk mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan oleh bahasa non-fiksi.

Pendidikan sastra sebaiknya dibuka seluas-luasnya. Keterbukaan terhadap karya dan apresiasi sastra memungkinkan bahasa menyingkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa non-fiksi. Maka, dialog antara pendidikan bahasa, sastra, hermeneutik dan psikologi harus dibuka. Pada titik ini, Freud bisa menjadi salah satu guru yang baik.

Jakarta, 13/3/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar