Senin, 14 Maret 2016

Ahok hebat, partai juga (perlu dibikin kian) hebat

Valens Daki-Soo

Ini status pribadi, karena secara resmi DPP PDI Perjuangan sudah mengeluarkan surat edaran agar para kadernya baik di struktur/pengurus maupun di eksekutif dan legislatif serta para anggota partai tidak lagi memberikan komentar yang bikin publik tambah gaduh.

Tidak semua elite partai sama pandainya bicara di depan publik, seperti tidak semua orang sama baiknya dalam merumuskan pikiran berbentuk tulisan.

Tidak semua politisi mampu berpikir analitis dan intelektual, sehingga sering suatu istilah bisa disemburkan begitu saja tanpa memahami makna sejatinya. Tidak semua politisi mampu berpikir ataupun berbicara logis dan sistematis -- seperti juga tidak semua orang sanggup berpikir dan bertindak etis.

Ijinkan saya berbagi status ini sebagai pribadi, tidak sebagai anggota partai, meski mungkin agak sulit dibedakan. Minimal ini tidak mewakili partai, apalagi saya bukan jubir partai.

Pertama, tampaknya wacana sudah meluber ke mana-mana, terlalu jauh dari inti soal. Masalah pokoknya kurang-lebih seperti ini. Sejauh saya dengar dari kalangan internal, PDI Perjuangan mulanya sudah "oke" untuk dukung Ahok-Djarot lanjut pada periode kedua. Dalam dinamikanya, ada grup Teman Ahok yang ingin mendorong Ahok melalui jalur perseorangan.

Mungkin dalam perhitungan Ahok dan kawan-kawan, waktu sudah mepet dan oleh karenanya perlu segera ada kepastian dukungan dari PDI Perjuangan, khususnya "mengijinkan" Djarot menjadi tandem Ahok pada Pilgub mendatang, maka Ahok mengirim pesan secara publik (artinya diungkap via media massa pula) agar PDI Perjuangan segera menyatakan kepastian itu. Kalau tidak salah, Ahok beri waktu seminggu untuk PDI Perjuangan.

Merespons semacam "ultimatum" itu, kalangan PDI Perjuangan menunjukkan respons keras, ada yang reaktif pula, bahkan ada yang melontarkan bahaya deparpolisasi. Yang lain menilai cara bertindak Ahok kurang tepat secara etis. Dia meminta atau setidaknya mengharapkan dukungan, namun dengan cara "menekan" pula.

Kedua, ada cukup banyak salah persepsi pula tampaknya, termasuk dari kalangan publik. Terkesan (seolah) PDI Perjuangan "menolak" bahkan "memusuhi" Ahok. Sejauh saya ketahui, itu tidak benar. Jauh hari sebelum saat ini, saya sudah mendengar dari kalangan pengambil keputusan partai, kepemimpinan Ahok-Djarot akan dilanjutkan. Itu berarti ada pengakuan terhadap kepemimpinan, kemampuan dan prestasi Ahok. Masalahnya, sejauh saya tangkap, bukan pada kemampuan Ahok, melainkan pada komunikasi politik yang mengalami distorsi belakangan ini.

Ketiga, saya tidak sependapat jika fenomena ini dianggap deparpolisasi. Selain memang dipayungi UU, jalur perseorangan bukanlah ancaman bagi parpol. Jika parpol menempa dan memunculkan kader yang berkualitas prima, memiliki karakter kuat, berpengalaman luas, berwawasan visioner, punya kepemimpinan memadai, pasti dia mampu hadir dan bertarung di ajang kompetisi atau kontestasi manapun.

Dalam bahasa gampangnya, "Kalau gue keren alias oke, gue pasti 'pede' di manapun, menghadapi siapa saja."

Keempat, serentak saya juga tidak sependapat bahwa adanya jalur perseorangan bikin kita tidak butuh lagi parpol. Selama sistem demokrasi ini ada dan dianut, selama itu pula parpol perlu dan kehadirannya bersifat niscaya. Anda mungkin berpotensi membunuh demokrasi jika ingin meniadakan parpol.

Bukan cuma membiarkan parpol tetap hidup, kita bahkan seyogianya mendukung kaderisasi di segala lini, mendorong reformasi parpol agar lebih modern, terbuka dan melakukan rekrutmen/promosi berbasis "merit-oriented system". Artinya, seorang kader didorong maju karena kemampuan dan mutu pribadinya, bukan karena pandai menjilat atasan atau hanya karena punya banyak uang.

Di Amerika Serikat, leluhurnya demokrasi, parpol tetap berperan, dan hampir setiap kali pemilihan presiden, pemenangnya dari parpol. Saya belum sempat cek data persisnya, namun umumnya Presiden AS berasal dari kader terbaik partai. Saya tekankan, "kader terbaik".

Kalau ada ulah politisi yang busuk, yang merangkap bandit, koruptor, penipu rakyat, mari kita perangi "ramai-ramai". Anda dari luar partai bisa terus meluncurkan kritik-kritik korektif, kami yang di dalam partai juga berjuang dengan cara mendorong reformasi partai.

Kelima, tentang Ahok, saya termasuk pengagum orang ini. Saya suka segala gebrakannya, kemampuan teknisnya terkait pembangunan, visinya tentang "bagaimana sebaiknya Jakarta dibangun", dan keberaniannya menerobos batas-batas kelaziman.

Namun, mengagumi tidak identik dengan "selalu membenarkan". Jika Anda terlalu mengagumi seseorang, ada kemungkinan Anda kehilangan obyektivitas. Anda bisa kematian nalar jika terlalu dibius oleh rasa kagum.
Jadi, perlu ada jarak atau ruang antara kita dan figur yang dikagumi, agar kita tetap punya kemampuan menilai secara rasional dan kritis, serta membantu mengingatkan dia agar tidak sampai "lupa diri" apalagi mengalami kejatuhan yang tidak perlu terjadi.

Dalam sejarah, banyak tokoh hebat jatuh karena lupa diri. Jika Anda mendukung Ahok, Anda perlu menjaga dia agar tidak mengalami seperti itu. Boleh diakui, dia telah menjadi salah satu ikon kepemimpinan, suatu "cahaya" harapan yang berpendar di tengah gulita krisis kepemimpinan di tubuh bangsa ini. Persis namanya, "Tjahaya Purnama", kita berharap Ahok terus bercahaya, asalkan "eling lan waspada".

Ahok memang hebat, dan kehebatannya dibangun tidaklah oleh diri sendiri, melainkan oleh banyak penyangga, dari keluarga hingga masyarakat, termasuk parpol-parpol yang (pernah) menopangnya.

Ahok memang hebat, tetapi mari kita bantu agar parpol juga (semakin) hebat dengan (atau, agar) melahirkan kader-kader yang hebat.

Salam Cinta Indonesia.
VDS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar